Menjemput Pulang Nasehat 7
“Para penumpang yang terhormat, pada saat ini kita sedang memasuki
cuaca yang kurang baik, silahkan kembali ke tempat duduk Anda dan pasang
kembali sabuk pengaman Anda. Terimakasih”.
Aku kembali menatap jandela
yang dari tadi selalu dihiasi kerlap kerlip langit, pertanda cuaca buruk dan
curah hujan cukup tinggi.
“Sebentar lagi”,
bisik batinku mencoba untuk tenang
Jarum kecil
ditanganku sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB menandakan sebentar lagi pesawat
akan landing di Bandara Internasional Minangkabau (BIM).
Ranah Minang, Tanah
Kelahiran ku
Rasanya, dari tadi
waktu berputar cukup lama, seolah-olah jarum jam kecil itu enggan bergerak
menuju angka lanjutan yang aku tunggu : “21.30”.
*******
Halaban, Lareh Sago Halaban, Kabupaten 50 Kota.
Merupakan desa kecil yang ada di Sumatera Barat dan bisa
ditempuh sekitar 140 kilometer dari kota Padang.
Sebuah desa kecil yang dalam sejarahnya juga turut andil dalam
proses Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak lama setelah Ibu Kota RI di Yogyakarta
dikuasai belanda dalam Agresi Militer Belanda II maka Sjafruddin Prawiranegara memproklamirkan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan inilah pemerintahan yang
menjaga nafas proklamasi terus berhembus hingga saat ini.
Halaban, tempat yang selalu ku sebut sebagai “Rumah”
Tempat dimana ibu selalu memberi senandung nasehat bahkan
sampai sekarang.
Seperti biasa, kegiatan di sore hari selalu aku habiskan
bersama ibu di dapur, membantu menyiapkan makan malam untuk seluruh penghuni
rumah
“Hmm kok bisa ya bu ? membiayai 4 orang anak dengan
masing-masing keperluan yang terkadang jumlahnya tidak sedikit, apalagi kondisi
kakak sekarang. Maaf ya bu, masih saja merempotkan sampai saat ini”, celetukku
di sore itu.
Ibu pun tersenyum mencerna pertanyaan mudah yang kubuat seolah
rumit
“Nak tentang rezeki, berapa kali Allah katakan bahwa Ia
menjamin rezeki setiap makhlukNya, Bahwa tidak ada satu pun makhluk yang bergerak
di bumi melainkan Allah jamin rezekinya”.
Aku mulai menyimak arah pembicaraan ibu
“ Pun sama, itulah yang sedang terjadi dengan anak-anak ibu,
dengan ibu, ayah dan semua umat manusia di bumi. Lalu apa lagi yang harus ibu
takutkan ketika ibu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk kalian.
Prinsipnya, Allah sudah atur rezeki tiap makhluk, maka jangan pelit mengelurkan
apa-apa yang harus kita keluarkan, jangan terlalu banyak berfikir untuk memberi
dan terus memberi. Entah itu kepada karib kerabat, anak yatim, orang miskin,
bahkan untuk diri sendiri, nak. Keluarkan hak-nya dan pastikan sumbernya dari
yang halal.
Lagi-lagi aku tertegun dengan perempuan yang sibuk dengan 2 kualinya
dan menakar bumbu masakannya
“Sesimpel itukah bu ?”
“Perkiraan itu penting, mengatur keuangan itu juga harus cerdas
sebagai perempuan. Tapi ingat nak, Jika itu rezeki ibu, apapun kendalanya akan
sampai pada ibu, pun sama jika itu rezeki anak-anak ibu dengan cara yang bahkan
tak diduga-duga ada saja cara Allah memberi rezeki itu”
“Hmm iya bu” , jawabku yang kehabisan kata-kata
“20 tahun pernikahan ayah dan ibu, 20 tahun naik turun keadaan
ekonomi keluarga, selama itu juga ibu belajar, bersyukur menerima rezeki yang
ada dan bersabar untuk rezeki yang memang bukan Allah takdirkan untuk Kita. Semoga keyakinan kita selalu bertambah dengan keyakinan bahwa
rezeki itu sungguh datangnya dari Allah Ar-razaq”
Ibu
Terima Kasih untuk semua diskusi singkat namun terkadang masih
alpa untuk dilakukan
Tentang rasa syukur
Tentang rasa ingin berbagi dan terus memberi
Hari itu, Jarak antar pulau itu kembali berhasil kami lipat :)
Ditulis Pada Perjalan Padang Menuju Yogyakarta
10 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar