Belajar dari Petani Sawah
Barangkali ada
kisah tidak utuh yang kita pahami tentang makna perjalanan. Entah sejak kapan,
perjalanan bagiku menjadi obat mujarab untuk kembali merajut syukur. Sederhana saja,
entah dari pemandangan yang benar-benar hanya bisa dinikmati oleh mata sendiri,
lalu terlihat begitu biasa di layar hp ketika pemandangan itu ditangkap dengan
kamera hp. Atau tentang tempat-tempat bersejarah yang dikunjungi, juga
sekelumit perjuangan yang melebur diantara deru-deru langkah kaki. Kemudian kita
berbondong-bondong mengira bahwa perjalanan adalah soal kehendak diri, dan
pergi adalah sebab kehendak itu menggerakkan langkah kaki yang diridhoi
mimpi-mimpi.
Mari berbicara
dunia setelah wisuda.:")
Semenjak November
2017 lalu, maka Juli di 2018 ini adalah bulan ke delapan aku memaknai kalimat “Welcome
to the jungle”, kata-kata yang sering aku terima tepat setelah aku resmi
menyandang gelar S.Psi. Ternyata ada benarnya juga, kehidupan setelah kuliah
itu ga senyaman zona kampus, dimana kamu bebas memilih lingkungan seperti apa
yang ingin kamu pilih untuk proses bertumbuh mu, juga jadwal yang memang sudah
terkontrol dan tersusun rapih. Maka dunia pasca kuliah, tahap awal yang akan
kamu lalui adalah “Kebebasan”. Kamu bebas memilih apapun yang kamu inginkan,
tapi sayang kamu pun juga akan dihadapkan dengan kenyataan bahwa dunia mu
semakin mengerucut. Mmm... maksudku, mungkin ada banyak orang yang kamu temui
setelah ini, mengunjungi tempat-tempat baru, beradaptasi dengan budaya baru,
atau kamu merasa semua orang sedang menuju versi terbaiknya dan meninggalkan
kamu yang berjuang dan memahami zona mu sendiri. Maka pada saat itu, kamu akan
merasakan keluarga adalah tempat pulang terbaik.
Dan dimasa-masa
penetuan arah itu, Allah izinkan aku untuk mengunjungi beberapa tempat, melihat
alamnya melalui perjalanan. Melihat bagaimana luasnya lautan dari daratan, yang
kalau Allah mau, Allah tinggal angkat air laut setinggi-tingginya dan
dihempaskan kuat kearah daratan, atau perjalanan darat yang memang berhasil
membuat aku kembali melakukan "monolog diri". Seperti perjalanan kemaren, mengunjungi
salah satu destinasi wisata lembah harau.
Yang jelas aku tak akan menceritakan bagaimana indahnya pesona lembah harau, kamu hanya tinggal search di google atau jika ingin melihat lebih nyata, youtube bisa menjadi obat mujarab untuk rasa penasaran mu :)
Yang jelas aku tak akan menceritakan bagaimana indahnya pesona lembah harau, kamu hanya tinggal search di google atau jika ingin melihat lebih nyata, youtube bisa menjadi obat mujarab untuk rasa penasaran mu :)
Perjalanan menuju
lembah harau itu selalu menyuguhkan sawah hijau yang sepanjang mata memandang
benar-benar berhasil membuat rasa syukur itu kembali berlipat-lipat. Tapi nilai
lebihnya, sawah-sawah itu di apit oleh lembah harau yang ketika semua menyatu
dalam penglihatan, benar-benar berhasil membuat saya merinding, sekaligus malu.
Malu jika masih mengeluh dengan masalah dunia, malu jika kembali mempertanyakan
tingkat keyakinan saya pada apa-apa yang selalu mejadi doa langit, malu jika
dipikir lagi bagaimana tingkat syukur petani disana dan keyakinan mereka akan
hasil panen sawah pada Sang pemilik rezeki.
Hari itu saya
belajar dari petani di sawah. Dimana ada banyak hal yang harus mereka usahakan, seperti mengolah tanah agar
tempat padi tumbuh terhindar dari rumput-rumput liar, setelah itu barulah proses pembajakan
dilakukan, petani selanjutnya memilih bibit unggul, lalu bibit tersebut harus
disemaikan terlebih dahulu, barulah penanaman padi di lakukan setelah benih
pada proses persemaian telah tumbuh daun sempurna sebanyak tiga hingga empat
helai. Selanjutnya, ikhtiar yang dilakukan petani adalah perawatan lahan, mulai
dari penyiangan, pengairan dan pemupukan. Setelah proses panjang itu, terakhir
barulah para petani melakukan pemanenan dari hasil sawahnya. Maka ini
adalah puncak rasa syukur itu terurai.
Saya kembali
berfikir, semua itu tentang proses, tentang waktu dan tentang ikhtiar yang
hanya bermodal kan keyakinan pada pemilik rezeki. Setelah ikhtiar panjang itu,
apakah para petani juga ikut mengatur cahaya ? mengatur air ? atau mengatur
hasil akhir ? aku rasa tidak.
Namun ada
keyakinan, bahwa Allah tak pernah menyia-nyiakan usaha hambaNya atau bukankah
manusia akan memperoleh apa apa yang di usahakannya ? (QS. An-Najm : 39). Lalu bagaimana
jika hasil panen itu gagal ? atau tiba-tiba terjadi banjir dan para petani
gagal panen ? maka kata kunci selanjutnya adalah Tawakal. Bagaimana kita
benar-benar berada di titik berserah dan menyerahkan hasil terbaik tanpa
mengatur lagi bagaimana hasil akhirnya. Bukankah Allah tau yang terbaik untuk
setiap hambaNya ? (QS. Al Baqarah: 216). Tiba-tiba saya teringat sebuah kalimat
“Bagaimana mungkin saya takut miskin, sedang saya
adalah hamba dari yang Maha Kaya”, kadang semua sesederhana itu. Ada banyak
hal yang seharusnya kembali di tadabburi bahkan ketika kita menganggap hal itu
sebagai sesuatu yang remeh.
Perjalanan kali
ini benar-benar manarik. Wahai diri, terimakasih telah menasehati. Hari itu saya
kembali belajar hal baru tentang optimis dan pesimis, saya kembali menyadari
bahwa untuk apapun yang diinginkan ya minta saja sama Allah, saya juga punya
referensi pehamanan baru tentang menunggu dan meyakini ketetapan waktu-Nya.
Cara Allah mendidik memang lebih dari sekedar menarik.
Komentar
Posting Komentar